BANYUWANGI, Responnews.net – Suasana penuh haru menyelimuti pembukaan Sekolah Rakyat di Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) Muncar, Banyuwangi, pada Selasa (30/9/2025). Sebanyak 73 anak dari berbagai wilayah dan latar belakang sosial resmi diterima sebagai peserta didik di sekolah berasrama tanpa biaya ini, yang merupakan inisiatif dari Presiden Prabowo Subianto.
Di tengah semarak acara, sebuah momen menyentuh hati terjadi saat Nur Wahidah (50), seorang ibu tunanetra asal Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, tak kuasa menahan tangis ketika disapa oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, yang hadir untuk meresmikan pembukaan sekolah tersebut.
Dengan suara lembut, Wahidah membagikan kisah hidupnya. Ia mengasuh empat anak, dengan kondisi yang tidak mudah. Anak pertamanya telah meninggal, anak kedua sudah bekerja, anak ketiga masih di bangku SMA, dan si bungsu, Rehan Meizi—saat ini duduk di kelas 5 SD—menjadi salah satu siswa baru di Sekolah Rakyat.
Wahidah telah kehilangan penglihatannya selama sembilan tahun. Sejak Rehan masih bayi, suaminya pergi meninggalkan keluarga. Untuk menghidupi anak-anaknya, Wahidah menggantungkan hidup dari penghasilan sebagai tukang pijat.
> “Sudah sembilan tahun saya kehilangan penglihatan. Untuk hidup, saya hanya bisa bekerja sebagai tukang pijat. Dengan adanya Sekolah Rakyat ini, saya merasa sangat terbantu. Semoga anak saya bisa maju, berkembang, dan menjadi orang yang sukses kelak,” ungkap Wahidah.
Mendengar kisah tersebut, Bupati Ipuk memberikan semangat dan motivasi.
> “Tetaplah semangat ngih Bu. InsyaAllah anak-anak ibu bisa menggapai cita-citanya. Bapak Presiden melalui Sekolah Rakyat ini ingin semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan,” ujar Ipuk menguatkan.
Bukan hanya Wahidah, puluhan orang tua lainnya pun memendam harapan yang sama. Salah satunya Tutik (54), warga Kecamatan Songgon, yang tampak antusias saat mengantar anaknya, Hidayatur Ramadan—siswa kelas 2 SMA—untuk bergabung di Sekolah Rakyat.
> “Perasaan saya senang sekali setelah tahu tempatnya nyaman. Daripada di rumah main terus, di sini anak saya lebih terarah. Hati saya juga lega, apalagi semuanya gratis,” tutur Tutik.
Tutik telah menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya wafat sembilan tahun lalu. Ia berjualan es dan camilan di sekitar desa demi mencukupi kebutuhan hidup. Meski penghasilan terbatas, semangatnya untuk masa depan anak-anaknya tak pernah padam.
Semangat serupa juga terlihat dari Yesi, siswi asal Siliragung. Ia berbincang langsung dengan Bupati Ipuk dan menceritakan bahwa sebelumnya ia bersekolah di Tulungagung, namun memutuskan kembali ke Banyuwangi untuk merawat neneknya yang sakit.
> “Awalnya saya mau sekolah di SMK PGRI, lalu saya direkomendasikan oleh pendeta saya bahwa ada sekolah program presiden. Saya tertarik, karena memang kami kurang mampu akhirnya saya memutuskan untuk sekolah di sini,” kata Yesi.
Yesi kini bertekad menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat dengan sungguh-sungguh. Ia bercita-cita menjadi psikolog dan juga aktif mengembangkan bakat seni, terutama dalam bidang menyanyi dan menari.
Bupati Ipuk mendoakan agar seluruh cita-cita para siswa dapat terwujud melalui pendidikan yang layak dan berkualitas.
> “Semoga apapun cita-cita kalian mudah-mudahan bisa diwujudkan. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, jadikan Sekolah Rakyat ini jadi langkah awal untuk mewujudkan harapan apapun di masa depan,” ujar Ipuk menutup pesannya. (*)
Sumber: humas
Editor: Budi
0 Comments:
Posting Komentar